Menag Lukman: Hubungan Ulama-Umara Tentukan Baik-Buruknya Bangsa
By Admin
nusakini.com--Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menegaskan bahwa relasi yang baik antara ulama-umara dalam konteks negara Indonesia yang religius adalah sebuah keniscayaan. Sebab, pemerintah (umara) akan terus membutuhkan nasihat dan fatwa konstruktif dari ulama. Sementara, ulama juga membutuhkan umara untuk mendukung aktifitas mereka dalam berbagai bidang seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum, sosial, dan hal strategis lainnya.
"Karena itu, baik buruknya relasi ulama-umara akan menentukan baik buruknya sebuah bangsa," kata Menag saat mewakili Presiden RI Joko Widodo membuka Itima' Ulama Komisi Fatwa MUI ke-6 di Ponpes Alfalah, Banjarbaru, Provinsi Kalimantan Selatan, Senin (07/05).
Tampak hadir mendampingi Menag, Dirjen Bimas Islam Muhamadiyah Amin, Gubernur Kalsel, Kepala Kanwil Kemenag Kalsel Noor Fahmi, Kakankemenag Banjarbaru, keluarga besar Ponpes Al Falah dan tokoh masyarakat Kalsel.
Menurut Menag, dalam konteks sejarah nusantara, sinergi ulama dan umara ini sudah terjalin sangat mesra dan kuat. Pada era kesultanan Aceh Darussalam misalnya, Ratu Shafiyatuddin (w.1675 M) menunjuk Syekh Abdurrauf Singkel (w.1693 M) menjadi Qadhi Malik al-'Adil atau mufti yang bertanggungjawab terhadap masalah keagamaan di kesultanan Aceh. Kitab Mi'rat at-Thullab fi Tashîl al-Ahkam asy-Syar'îyah li al-Malik al-Wahhâb adalah salah satu karya monumental yang menjadi bukti sejarah relasi mesra ulama-umara di kerajaan Aceh saat itu.
Di Kalimantan Selatan ini, ada kerajaan Banjar. Hubungan mesra ulama-umara di Banjar tergambar pada sosok Sultan Adam al-Watsiq Billah (1785-1857) dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (w.1812 M) sehingga pada waktu itu ditetapkan Undang-Undang Sultan Adam (UU-SA) yang memuat aturan pidana dan perdata berdasarkan hukum Islam dan kearifan lokal.
"Bahkan kitab Sabilul Muhtadin anggitan Syekh Arsyad al-Banjari menjadi buku rujukan penting mengenai hukum keagamaan hingga hari ini. Sementara, di belahan tanah Jawa, juga terlihat relasi mesra antara para Wali Songo dengan penguasa-penguasa setempat sehingga berhasil mendirikan pemerintahan yang sukses," ujar Menag.
Menag menuturkan, Sunan Ampel dan Sunan Giri misalnya, kerap diminta untuk menyiapkan aturan hukum perdata, adat istiadat, pernikahan, dan muamalah. Sementara Sunan Kudus kerap dijadikan rujukan mengenai persoalan jinayah dan siyasah (kriminalitas dan politik) di zamannya.
"Saya berharap semoga acara Ijtima' Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia yang ke-6 Majelis Ulama Indonesia ini menghasilkan fatwa-fatwa yang konstruktif dan mencerahkan. Sehingga bisa membimbing umat dan berdampak bagi perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik," tutup Menag.(p/ab)